Entah sejak kapan, mereka berdua—tepatnya Hideki Hinata—sering datang tanpa alasan ke rumah sakit tersebut untuk menjenguk Yui. Hinata duduk di kelas 2 di sebuah SMA, sehingga Yui lebih senang memanggilnya dengan embel '-senpai'. Hinata seringkali menceritakan jenaka, kehidupannya atau berita konyol lain. Ekspresi Yui makin hari semakin cerah, bagai bertemu pagi yang baru. Ibu Yui sendiri bahagia dengan kehadiran Hinata disana, seperti bukan orang luar lagi di kehidupan mereka.
"Hei, senpai..."
"Hm, ada apa?"
Kala itu Hinata tengah memotong apel untuknya dan juga Yui, hari itu ibu Yui tengah pergi ke suatu tempat dan tidak bisa ada di sana.
"Kenapa senpai...sering kemari?" pertanyaan itu terlintas di benaknya sejak tadi.
"Eeh, memangnya kenapa?" Hinata memakan satu potong apel. "Tidak ada alasan khusus kok? Aku cuma senang saja kemari."
"Begitu..." manik Yui melihat ke arah bawah. "Apa senpai tidak bosan? Bukannya senpai punya teman-teman lain—seperti Otonashi-senpai, Noda-senpai, seluruh orang yang senpai ceritakan?"
Mendengar hal tersebut, Hinata hanya tersenyum sebagai reaksi. Ia menaruh apel yang ia pegang dan mengelus surai merah muda Yui, sedikit mengacak-acaknya.
"Hahaha, tidak, aku tidak bosan kok." Hinata nyengir. "Bicara denganmu itu hal menyenangkan, lho?"
x x x
Daur kehidupanku mulai berjalan seperti itu,
Keberadaan senpai membuat cat hitam di kehidupanku luruh,
Terkadang, beberapa teman senpai juga mendatangiku,
Pernah aku diajak bernyanyi bersama Iwasawa-senpai,
Pernah aku diajak jalan-jalan oleh Otonashi-senpai,
Semua karena keberadaan Hinata-senpai,
Senpai juga membantu ibuku mengurusku,
Ibu lebih sering tersenyum bahagia karenanya,
x x x
Suatu hari, Hinata sore itu tengah mengajak Yui jalan-jalan dengan kursi roda di pelataran rumah sakit. Dedaunan sakura berterbangan satu-persatu, seakan menyambut kedatangan mereka. Sudah sekian lama mereka menghabiskan waktu seperti ini bersama, kadang ada yang pahit, ada yang manis, ada juga yang lebih manis.
Sore itu, langit tengah teduh namun cerah, suasana yang sangat bersahabat untuk sedikit bersantai.
"Lihat! Itu Rakun yang waktu itu kita injak!" Hinata menunjuk salah satu pohon kenari.
"Ahahaha, senpai ingat saja." Tawa renyah keluar dari bibir Yui.
Pembicaraan yang lambat dan menyenangkan, itulah yang biasa mereka habiskan bersama. Namun, seiring waktu, ada saja hal yang dipikirkan oleh Yui. Keterbatasannya sudah banyak merepotkan orang lain, terlebih lagi Hinata yang sudah lumayan lama ada di sampingnya. Tapi ada juga rasa—sebuah emosi abstrak di dalam nuraninya—
(-Untuk memiliki.)
"Senpai."
"Hmm?"
"Apa senpai punya cita-cita?"
"Yaah~ aku ingin menjadi pemain baseball profesional—tapi kalau ada yang sadar dengan ketampananku dan menjadikan aku model juga tidak masalah~"
"Ahahaha, tidak mungkin itu terjadi!"
"Hmph, kan boleh saja bermimpi." Hinata membusungkan dada, masih berjalan dengan irama tetap. "Kau sendiri, kau punya cita-cita apa, Yui?"
"Aku..." entah kenapa suaranya tercekat di tenggorokan. "Aku ingin menikah."
Hening.
"Tapi—a, aku tidak bisa melakukan apa-apa, aku juga tidak bisa berdiri ataupun berjalan—aku tidak mampu melakukan apapun sendiri. Pasti tidak ada seorangpun yang mau—"
"Ada."
Hinata berhenti, ia lalu bergerak ke arah depan kursi roda, berlutut di depan Yui. Ungu sepia menatap merah muda, seakan memberikan sebuah arti.
"Aku akan menikahimu!" maniknya berkilat. "Aku serius."
Kedua bola matanya terbelalak.
"Senpai—tidak usah menghiburku, aku tahu semua itu tidak mungkin karena aku—"
"Kubilang aku serius!" pekiknya lagi. "Tidak peduli kau tidak bisa berjalan, ataupun kau tidak bisa punya anak sekalipun, aku tetap akan menikahimu!"
Mulut Yui yang tadinya membuka kini menutup menjadi sebuah garis, terdiam karena perkataan Hinata.
"Aku akan terus berada di sampingmu." Perlahan, air mata Yui turun, Hinata pun mendekatkan tangannya dan menghapus air mata Yui. "Karena kau adalah Yui yang kucintai."
x x x
Mendengar itu, aku senang
Merasakan itu, aku melayang
Hinata-senpai
Terima kasih sudah menyayangiku, selamanya.
The End